Pada awal 2025, publik Indonesia dikejutkan oleh sebuah video yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto seolah-olah menawarkan program bantuan utang kepada masyarakat. Wajah, suara, dan intonasinya tampak sangat meyakinkan. Video tersebut viral dan banyak yang percaya, sebelum akhirnya dikonfirmasi sebagai hasil manipulasi deepfake oleh aparat. Pelakunya, seorang warga Lampung, berhasil menipu belasan korban dan meraup puluhan juta rupiah melalui modus penipuan bermuatan konten palsu.
Kasus ini menjadi peringatan serius bahwa hoaks digital kini hadir dalam bentuk yang lebih canggih dan menyesatkan. Di era artificial intelligence, konten visual dan suara tak lagi bisa dijadikan bukti mutlak. Jika kita tak waspada, kita mudah terjebak dalam jebakan digital yang seolah nyata.
Lalu, jika apa yang kita lihat dan dengar bisa direkayasa sedemikian rupa, bagaimana cara kita mengenali kebenaran?
Apa Itu Deepfake dan Mengapa Makin Sulit Dikenali?
Deepfake adalah teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu memanipulasi wajah, suara, atau gerakan seseorang dalam bentuk video maupun audio sehingga tampak seolah-olah nyata. Kata “deepfake” sendiri berasal dari gabungan kata deep learning dan fake (palsu), yang mencerminkan teknik komputasi canggih di balik proses pembuatannya.
Teknologi ini bekerja dengan model yang disebut GAN (Generative Adversarial Network), yaitu sistem dua bagian: generator dan discriminator. Generator bertugas membuat konten palsu yang menyerupai data asli, sementara discriminator bertugas membedakan mana yang palsu dan mana yang asli. Kedua sistem ini terus bersaing dan belajar dari satu sama lain, sehingga hasil akhirnya semakin halus dan sulit dikenali oleh manusia maupun mesin.
Dalam praktiknya, hasil deepfake bisa menampilkan ekspresi wajah yang realistis, sinkronisasi bibir yang akurat, hingga intonasi suara yang sangat meyakinkan. Itulah sebabnya banyak orang sulit membedakan mana konten asli dan mana yang hasil rekayasa, terutama jika tidak memiliki konteks awal atau sumber pembanding.
Lebih dari sekadar hiburan atau parodi, deepfake kini menjadi alat manipulasi opini, propaganda, bahkan penipuan daring. Semakin canggih teknologinya, semakin penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital agar mampu mendeteksi dan menangkal konten palsu yang beredar di ruang maya.
Jenis-Jenis Deepfake yang Perlu Dikenali
Banyak orang masih mengira bahwa deepfake hanya terbatas pada video yang menukar wajah seseorang. Padahal, teknologi ini telah berkembang pesat dan melahirkan berbagai bentuk media palsu yang sama-sama berbahaya. Pemahaman kita perlu diperluas agar tidak terjebak dalam persepsi sempit.
Berikut empat jenis utama deepfake yang kini banyak beredar di ruang digital:
🔹 Visual Deepfake
Manipulasi wajah atau tubuh dalam video menggunakan AI. Sering digunakan untuk menyebarkan fitnah politik, pornografi nonkonsensual, atau parodi ekstrem yang menyesatkan. Konten semacam ini dapat dibuat menggunakan aplikasi seperti DeepFaceLab, FaceSwap, atau Zao, yang tersedia luas secara publik.
🔹 Audio Deepfake
Teknologi ini meniru suara seseorang secara realistis, termasuk nada bicara dan intonasi. Penipu biasanya menggunakannya untuk berpura-pura menjadi atasan, tokoh publik, atau anggota keluarga yang meminta transfer uang atau menyebarkan instruksi palsu. Platform seperti Descript Overdub, iSpeech, dan Resemble.ai memfasilitasi proses ini.
🔹 Textual Deepfake
Konten berupa tulisan yang tampak dikirim oleh tokoh tertentu, misalnya dalam bentuk email, DM, pesan WhatsApp, atau komentar publik. Konten ini bisa memengaruhi opini, memicu konflik, atau memanipulasi persepsi. Alat seperti ChatGPT, Grover, dan GPT-J dapat dimanfaatkan untuk membuat konten semacam ini secara otomatis.
🔹 Multimodal Deepfake
Jenis yang paling kompleks karena menggabungkan manipulasi visual, suara, dan gerakan tubuh. Contohnya adalah avatar palsu dalam video call atau siaran langsung yang sepintas tampak manusia asli. Teknologi seperti Synthesia, Hour One, dan Unreal Engine Metahuman mendukung pembuatan simulasi digital ini.
Jika bentuknya makin beragam, maka bahaya deepfake juga semakin luas—dari penipuan digital hingga ancaman terhadap demokrasi dan stabilitas sosial.
Kasus Nyata: Deepfake dalam Hoaks Publik
Deepfake tidak lagi sekadar ancaman masa depan. Di Indonesia, teknologi ini telah digunakan dalam aksi penipuan nyata yang merugikan masyarakat secara luas dan menyebar dengan sangat cepat melalui media sosial.
Pada Januari 2025, publik digegerkan oleh video deepfake Presiden Prabowo Subianto yang tampak meyakinkan, seolah menawarkan program bantuan utang kepada masyarakat. Video ini tersebar di TikTok dan Instagram, lengkap dengan suara dan mimik wajah yang sangat mirip aslinya. Pelakunya, AMA (29), memanfaatkan konten palsu tersebut untuk menipu korban agar mentransfer uang “administrasi bantuan”. Dalam waktu singkat, ia berhasil menipu belasan orang dengan total kerugian puluhan juta rupiah. Tak lama berselang, pelaku kedua berinisial JS (25) menjalankan modus serupa lewat akun “Indo Berbagi 2025”, dan menipu lebih dari 100 korban di 20 provinsi dengan total kerugian sekitar Rp 65 juta.
Kasus serupa terjadi di Jawa Timur. Video deepfake Gubernur Khofifah Indar Parawansa digunakan untuk menyebarkan pesan bantuan fiktif. Kerugiannya ditaksir mencapai Rp 87 juta. Ini menunjukkan bahwa kepala daerah dan tokoh publik lain pun bisa menjadi target manipulasi digital yang serius.
Secara global, teknologi deepfake telah digunakan dalam skema penipuan tingkat tinggi. Dalam kasus CEO fraud, penjahat menggunakan deepfake audio untuk meniru suara bos perusahaan dan memerintahkan transfer jutaan dolar. Di Australia, sebuah perusahaan kehilangan 400 ribu dolar Australia akibat deepfake video ajakan investasi palsu. Bahkan tokoh dunia seperti Joe Biden, Keir Starmer, dan politisi Eropa lainnya pernah jadi korban manipulasi suara atau video palsu dalam konteks politik dan kampanye hitam.
Rangkaian kasus ini membuktikan bahwa deepfake bukan hanya merusak citra individu, tetapi juga mencederai kepercayaan publik, memperkeruh demokrasi, dan mengganggu stabilitas sosial. Jika tak diantisipasi sejak dini, kita akan menghadapi gelombang hoaks digital yang makin sulit dibedakan dari kenyataan.
Deepfake sebagai Senjata Disinformasi
Di era informasi visual, masyarakat cenderung mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar. Inilah mengapa deepfake menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan disinformasi. Ketika wajah tokoh publik berbicara dan bertindak dalam video, otak kita cenderung langsung mengasosiasikannya dengan kebenaran, meski itu hanyalah rekayasa.
Hoaks berbasis visual dan audio bekerja memanfaatkan celah dalam psikologi publik—yakni kepercayaan terhadap bukti inderawi. Ketika konten palsu terlihat nyata, maka klarifikasi sering kali datang terlambat. Ini menciptakan krisis bukti, di mana video atau suara tidak lagi dapat dipercaya begitu saja, bahkan jika benar sekalipun.
Media sosial memperparah penyebaran ini. Algoritma platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook mendorong konten sensasional dan emosional untuk lebih mudah viral, tanpa mekanisme deteksi yang memadai. Banyak pengguna juga tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenaran konten secara mandiri, apalagi dalam waktu singkat. Dalam konteks pemilu, kampanye politik, atau isu sosial, deepfake bisa digunakan untuk menjatuhkan lawan, memicu kerusuhan, atau menciptakan kebingungan massal.
Kekhawatiran lain adalah potensi manipulasi massal secara sistematis. Bayangkan jika satu kelompok mampu menyebar ribuan konten deepfake yang ditujukan untuk membentuk opini, menggiring persepsi publik, atau menciptakan narasi alternatif terhadap kenyataan. Maka, kita bukan hanya menghadapi hoaks, tetapi ancaman terhadap integritas ruang publik dan demokrasi itu sendiri.
Jika tak diimbangi dengan literasi digital yang kuat, kita berisiko hidup dalam ekosistem di mana persepsi lebih dipercaya daripada fakta. Demokrasi bisa terganggu, dan publik menjadi sasaran empuk manipulasi terencana.
🔗 Baca juga: Mengapa Hoaks Sangat Meyakinkan?
Karena itu, mengenali strategi di balik disinformasi visual sangat penting. Bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal kesadaran kolektif akan cara kerja manipulasi modern.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghadapi ancaman deepfake yang semakin canggih, kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau platform teknologi. Diperlukan kesadaran dan perlindungan dari semua lapisan masyarakat, mulai dari individu hingga institusi. Berikut lima langkah penting yang bisa dilakukan:
- Latih skeptisisme sehat
Jangan langsung percaya pada video atau suara yang beredar, terutama jika isinya mengejutkan, emosional, atau menghasut. Periksa siapa yang mengunggah, kapan dipublikasikan, dan apakah ada media lain yang melaporkan hal serupa. Biasakan bertanya: “Apakah ini masuk akal?” - Gunakan alat verifikasi digital
Manfaatkan teknologi seperti reverse image search, analisis metadata, atau platform pendeteksi deepfake seperti Deepware Scanner, Sensity AI, atau Reality Defender. Banyak dari alat ini tersedia gratis dan bisa membantu mengidentifikasi konten yang dimanipulasi secara otomatis. - Tingkatkan literasi digital
Pendidikan media harus menjadi bagian dari kurikulum dan keseharian keluarga. Semakin tinggi pemahaman masyarakat terhadap cara kerja teknologi AI dan algoritma, semakin kecil peluang mereka tertipu. Sekolah, kampus, komunitas, dan media punya peran penting dalam menyebarkan kesadaran ini. - Laporkan konten mencurigakan
Jika menemukan video yang terindikasi palsu atau menyesatkan, segera laporkan ke platform terkait seperti YouTube, TikTok, Instagram, atau kepada otoritas siber seperti Kominfo, BSSN, atau Cyber Crime Polri. Ini bukan sekadar reaksi, tapi bentuk kontribusi aktif dalam menjaga ruang digital yang sehat. - Dorong regulasi dan transparansi teknologi
Masyarakat sipil, jurnalis, dan aktivis perlu mendorong pembuat kebijakan untuk merumuskan aturan yang mengatur penggunaan AI secara etis. Termasuk kewajiban labelisasi konten buatan mesin (AI-generated content) dan perlindungan terhadap penyalahgunaan wajah publik.
Selain itu, kita perlu mengubah cara berpikir: visual bukan lagi bukti absolut. Verifikasi lintas sumber harus menjadi kebiasaan. Dalam era AI, kehati-hatian bukanlah paranoia, melainkan pertahanan diri digital.
Melawan deepfake bukan hanya tugas teknis, tapi juga tanggung jawab sosial bersama. Edukasi dan kolaborasi menjadi kunci agar kita tidak mudah dimanipulasi oleh ilusi digital yang makin meyakinkan.
Penutup Reflektif
Dulu, melihat berarti percaya. Tapi di era deepfake, visual dan suara tak lagi bisa dianggap sebagai bukti absolut. Apa yang tampak nyata bisa jadi sepenuhnya rekayasa. Di tengah kecanggihan teknologi yang mampu menciptakan ilusi sempurna, tantangan terbesar kita adalah mempertahankan nalar kritis dan kesadaran kolektif.
Teknologi bisa menipu, tapi kesadaran bisa melindungi. Dengan membangun budaya verifikasi, memperkuat literasi digital, dan menolak informasi yang meragukan tanpa klarifikasi, kita bisa melawan gelombang disinformasi.
Deepfake hanyalah alat—yang membedakan dampaknya adalah bagaimana kita menghadapinya. Di tengah banjir konten digital, berpikir sebelum percaya adalah bentuk perlindungan paling mendasar.
Maka dari itu, mari kita dorong ruang digital yang lebih sehat dan adil. Jadikan edukasi sebagai senjata, dan jangan biarkan teknologi mencuri kebenaran tanpa perlawanan. Sebab dalam dunia yang semakin maya, kewaspadaan adalah realitas baru yang harus kita bangun bersama.