Hampir semua orang yang mengenal sejarah internet tahu satu nama: Tim Berners-Lee, sang pencipta World Wide Web. Ia sering disebut dalam buku-buku sains dan teknologi sebagai ilmuwan visioner yang membuat informasi dunia dapat diakses lewat satu klik. Namanya menghiasi penghargaan tertinggi seperti Turing Award dan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris.
Tapi di balik kejayaan itu, banyak yang tak tahu bahwa Tim Berners-Lee bukan pendiri perusahaan raksasa, bukan miliarder teknologi, dan justru pernah mengaku kecewa terhadap ciptaannya sendiri. Ia hidup sederhana, menghindari sorotan, dan memilih menjadi penjaga nilai-nilai digital yang ia yakini sejak muda.
Artikel ini tidak akan membahas temuannya, tapi akan mengajak kita mengenal sisi manusiawi, keyakinan pribadi, dan dilema moral seorang tokoh yang lebih memilih melindungi web ketimbang menguasainya.
Masa Kecil dan Awal Ketertarikan
Untuk memahami siapa sebenarnya Tim Berners-Lee, kita perlu melihat ke masa kecilnya—masa yang penuh eksperimen, logika, dan ketekunan sunyi yang membentuk pondasi nilai hidupnya.

Lahir di London pada 8 Juni 1955, ia merupakan anak dari pasangan ilmuwan komputer yang terlibat dalam pengembangan Ferranti Mark I, salah satu komputer komersial pertama. Kehidupan di rumah penuh dengan diskusi logika, algoritma, dan potensi teknologi. Ayah-ibunya tidak hanya mewariskan minat pada sains, tapi juga semangat kolaboratif yang kelak membentuk karakter Berners Lee sebagai inovator.
Minat Tim Berners-Lee mulai terlihat sejak usia belia. Ia tergila-gila pada kereta mini listrik dan sering menghabiskan waktu untuk membongkar peralatan elektronik. Pada usia 12 tahun, ia mulai melakukan eksperimen solder-menyolder, menghubungkan kabel dan komponen untuk memahami bagaimana alat bekerja dari dalam. Ia mencatat sendiri diagram dan cara kerja alat-alat yang ia modifikasi, menjadikan rumahnya sebagai laboratorium kecil yang hidup.
Yang paling mencolok: ia membangun komputer pertamanya dari televisi bekas, papan rangkaian, dan kreativitas teknis—sebuah indikasi bahwa ketekunan dan dorongan belajarnya sangat otodidak dan kuat. Ia tidak menunggu akses formal, tapi menciptakan sendiri sarana untuk memahami teknologi.
Lingkungan keluarga yang logis namun terbuka inilah yang menumbuhkan rasa ingin tahu dan pondasi etis. Ia tidak hanya belajar cara kerja mesin, tapi juga memahami pentingnya informasi, komunikasi, dan kerja sama sejak dini—nilai-nilai yang kelak tertanam dalam filosofi ciptaannya: web sebagai ruang terbuka untuk semua.
Masa Kuliah & Pelanggaran Kreatif
Memasuki usia remaja akhir hingga awal 20-an, Tim Berners-Lee melanjutkan pendidikannya di Queen’s College, Oxford University, pada tahun 1973. Ia memilih jurusan fisika—sebuah bidang yang mempertemukan logika komputasi dan ketertarikan terhadap dunia kerja mesin.

Namun, kehidupan kampus bukan hanya tentang kuliah bagi Berners-Lee. Di Oxford, ia mulai menunjukkan kecenderungan khasnya: menantang sistem yang kaku dan mencari jalan alternatif. Ia bersama temannya melakukan akses ilegal ke mainframe universitas, sebuah aksi eksperimental yang nyaris membuatnya dikeluarkan. Meski begitu, pengalaman ini memperkuat karakter kritisnya terhadap otoritas teknologi tertutup dan menjadikannya pribadi yang reflektif terhadap kekuasaan sistem.
Alih-alih surut, ia terus belajar secara otodidak. Di sela-sela studi formal, ia merakit sendiri komputer sederhana dari suku cadang yang ia kumpulkan—proyek yang bukan bagian dari kurikulum resmi, tetapi menjadi salah satu pencapaian teknologinya yang paling awal. Ia lebih tertarik pada pemecahan masalah praktis ketimbang ujian teoritis, menjadikan garasi dan kamar kos sebagai ruang eksperimen informal.
Tim Berners-Lee lulus pada tahun 1976 dengan gelar BA (Hons). Gaya belajarnya yang mandiri dan sering bertabrakan dengan pendekatan akademik konservatif mencerminkan karakter intelektualnya yang khas: pembangkang terhadap sistem yang mengekang eksplorasi, namun tetap menjunjung nalar dan inovasi.
Pekerjaan Awal dan Munculnya Ide Etis
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Tim Berners-Lee memasuki dunia kerja dengan semangat eksperimen yang tak padam. Pada tahun 1980, ia magang di CERN—organisasi riset nuklir terbesar di dunia. Di sana, ia menyaksikan langsung bagaimana para ilmuwan kesulitan mengelola dan mengakses informasi yang tersebar di banyak sistem komputer berbeda.

Ia kembali ke CERN pada tahun 1984 sebagai kontraktor. Pengalaman ini memperkuat gagasannya akan pentingnya sistem informasi yang terbuka dan terhubung. Puncaknya terjadi pada 12 Maret 1989, saat ia menulis proposal legendaris berjudul Information Management: A Proposal. Gagasan ini menjadi fondasi dari apa yang kita kenal hari ini sebagai World Wide Web.
Tim Berners-Lee bukan hanya menciptakan web—ia juga membagikannya tanpa paten. Ketika web pertama kali dipublikasikan secara publik pada 6 Agustus 1991, ia menegaskan bahwa teknologi ini adalah milik bersama umat manusia. Penolakannya terhadap komersialisasi dan paten menjadi bentuk awal dari etika digital yang ia perjuangkan. Ia percaya bahwa informasi harus bisa diakses secara bebas, bukan dikendalikan oleh segelintir korporasi.
Sikapnya itu tergolong radikal untuk era tersebut. Saat banyak tokoh teknologi berlomba mengamankan paten demi keuntungan pribadi, Berners-Lee justru melepas hak eksklusif demi keterbukaan.
Saat teknologi internet masih dalam tahap awal, banyak orang belum menyadari dampaknya. Namun Berners-Lee sudah berpikir jauh ke depan. Visi etisnya sejajar dengan diskusi masa kini tentang teknologi seperti komputer kuantum—yang menjanjikan lompatan besar, tapi juga memicu pertanyaan moral dan tanggung jawab sosial.
Dari titik inilah, Berners-Lee mulai dikenang bukan hanya sebagai penemu, tapi sebagai penjaga prinsip keterbukaan dan akses universal.
Ketokohan dan Dilema Moral
Memasuki era 1990-an hingga 2010-an, Tim Berners-Lee menjadi figur global di dunia teknologi. Ketokohannya bukan hanya karena penciptaan web, tetapi karena konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai keterbukaan dan netralitas digital. Pada tahun 1994, ia mendirikan World Wide Web Consortium (W3C) di MIT—sebuah lembaga nirlaba yang bertugas menjaga standar terbuka web agar tidak jatuh ke tangan segelintir korporasi.
Pengakuan internasional mengalir. Pada 2004, ia dianugerahi gelar kebangsawanan (Knight) oleh Ratu Elizabeth II. Dan pada 2012, dunia menyaksikannya tampil dalam pembukaan Olimpiade London, duduk sendiri di hadapan komputer, mengirimkan pesan simbolis: “This is for everyone.”—ungkapan sederhana yang menegaskan filosofi web terbuka.
Namun, ketenaran itu disertai dilema moral yang kian dalam. Tim Berners-Lee mulai mengungkapkan kekecewaannya terhadap arah perkembangan web. Ia menyaksikan ciptaannya berubah menjadi alat manipulasi, pelacakan data massal, dan penyebaran disinformasi. Fenomena seperti hoaks dan deepfake mengguncang keyakinannya akan web sebagai ruang pembebasan.
Bagi Berners-Lee, web bukan sekadar medium teknologi—melainkan refleksi struktur kekuasaan. Saat web digunakan untuk pengawasan massal dan propaganda politik, ia menyatakan bahwa “kita telah kehilangan kendali atas internet.” Ia juga menyoroti praktik algoritmik platform digital besar yang memperkuat bias, membentuk polarisasi, dan menyusutkan ruang dialog yang sehat.
Kegelisahan ini menandai transisi Tim Berners-Lee dari penemu menjadi kritikus aktif terhadap penyimpangan etika digital. Ia memilih jalur advokasi, terlibat dalam perumusan kebijakan, dan mengajak masyarakat untuk kembali merebut kendali atas teknologi yang mereka gunakan. Pada titik ini, publik mulai melihatnya bukan sebagai selebritas teknologi, tapi sebagai penjaga etika zaman informasi.
Refleksi dan Perlawanan
Memasuki tahun 2018, Tim Berners-Lee mengambil langkah baru yang menandai babak perjuangan berbeda: memperbaiki kesalahan yang lahir dari teknologi ciptaannya sendiri. Ia mendirikan proyek Solid dan perusahaan Inrupt sebagai bentuk konkret dari perlawanan terhadap sentralisasi dan komersialisasi data pengguna oleh raksasa digital.
Solid menawarkan model baru: individu memiliki kendali penuh atas datanya melalui apa yang disebut “data pod”. Alih-alih membiarkan platform menyimpan dan memonetisasi informasi pribadi, pengguna bisa mengatur siapa yang boleh mengakses datanya, kapan, dan untuk tujuan apa. Konsep ini mengembalikan kedaulatan digital ke tangan masyarakat luas.
Pada 2019, Berners-Lee meluncurkan “Contract for the Web”, sebuah dokumen etika yang menyerukan komitmen dari pemerintah, perusahaan, dan warga dunia untuk membangun internet yang aman, terbuka, dan inklusif. Ia menekankan bahwa web adalah infrastruktur publik, bukan arena eksploitasi.
Alih-alih mencari publisitas, Berners-Lee aktif di forum kebijakan digital, memengaruhi regulasi, dan memberi edukasi. Ia menolak glamorisasi tokoh teknologi, dan justru fokus menyuarakan urgensi tata kelola yang berkeadilan.
Visinya ini sangat sejalan dengan prinsip blockchain dan desentralisasi—menolak monopoli, memperkuat kepercayaan, dan membangun sistem berbasis hak pengguna. Dalam era yang penuh ambiguitas etika digital, Tim Berners-Lee tetap menjadi suara moral yang konsisten: bahwa teknologi harus tunduk pada martabat manusia, bukan sebaliknya.
Dengan tekadnya yang tak pernah surut, ia menggugah kesadaran kolektif bahwa masa depan web bukan ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh pilihan etis, kebijakan inklusif, dan partisipasi masyarakat. Bag Tim Berners-Lee, memperbaiki web adalah perjuangan panjang, bukan proyek satu dekade.
Kehidupan Pribadi dan Spiritualitas
Di balik sorotan publik dan prestasi teknologi, Tim Berners-Lee menjalani kehidupan pribadi yang tenang, penuh refleksi spiritual, dan berlandaskan nilai-nilai moral yang sederhana namun kokoh. Ia dikenal sangat menjaga privasi keluarganya, bahkan ketika dunia menaruh perhatian besar pada dirinya.
Dari pernikahan pertamanya dengan Nancy Carlson, seorang programmer asal Amerika, Berners-Lee memiliki dua anak laki-laki. Setelah bercerai, ia menikah kembali dengan Rosemary Leith pada tahun 2014. Rosemary adalah seorang pebisnis digital dan co-founder World Wide Web Foundation, yang juga aktif memperjuangkan keterbukaan dan inklusivitas internet. Meski pasangan ini memiliki peran publik yang signifikan, mereka memilih menjalani kehidupan rumah tangga secara tertutup, menjauh dari eksposur media.
Secara spiritual, Berners-Lee semula menganut Anglikan, namun kemudian berpindah ke komunitas Unitarian Universalist—sebuah langkah yang mencerminkan keterbukaan, toleransi, dan pencarian makna personal yang tidak dogmatis. Baginya, agama dan teknologi sama-sama harus melayani kemanusiaan.
Sikap hidupnya yang menjauhi glamor dan menolak status sebagai selebritas teknologi menjadi bukti konsistensinya terhadap prinsip etika yang ia perjuangkan: bahwa kehidupan digital dan pribadi harus berjalan dengan martabat dan keseimbangan.
Penutup: Berners Lee sebagai Cermin
Tim Berners-Lee adalah pengingat bahwa di balik infrastruktur digital yang kita gunakan setiap hari, ada sosok yang lebih peduli pada nilai ketimbang keuntungan. Ia bukan pemilik web, tapi penjaganya—seseorang yang sejak awal memandang teknologi sebagai alat untuk membebaskan, bukan mengendalikan.
Di era ketika teknologi kerap kehilangan arah dan etika dikorbankan demi kapital, Berners-Lee tampil sebagai cermin integritas. Ia menunjukkan bahwa visi moral dan prinsip kemanusiaan masih bisa menjadi pondasi dalam membentuk masa depan digital.
Refleksi ini sangat relevan dengan isu jejak digital, hak informasi, dan masa depan tata kelola web. Berners-Lee bukan hanya penemu web, tetapi penjaga nilainya. Dan dalam dunia yang terus berubah, peran seperti inilah yang paling dibutuhkan.
Referensi
- Tim Berners-Lee. Long Live the Web: A Call for Continued Open Standards and Neutrality. Scientific American, 2010.
➤ https://www.scientificamerican.com/article/long-live-the-web/ - W3C Profile – Tim Berners-Lee
➤ https://www.w3.org/People/Berners-Lee/ - Berners-Lee, Tim. Weaving the Web: The Original Design and Ultimate Destiny of the World Wide Web. Harper, 1999.
- Wikipedia – Tim Berners-Lee (bio, keluarga, penghargaan, sejarah teknis)
➤ https://en.wikipedia.org/wiki/Tim_Berners-Lee - BBC News – Sir Tim Berners-Lee: World wide web needs bill of rights
➤ https://www.bbc.com/news/uk-26540635 - Contract for the Web (2019) – Web Foundation
➤ https://contractfortheweb.org/ - Solid Project – Inrupt Inc.
➤ https://solidproject.org/ - The Guardian – Sir Tim Berners-Lee: I invented the web. Here’s how we can fix it
➤ https://www.theguardian.com/technology/2017/mar/11/tim-berners-lee-web-inventor-save-internet - Unitarian Universalist Association (UUA) – Berners-Lee’s reflections on spiritual openness
➤ https://www.uua.org/